Suntiang Pernikahan: Simbol Kebesaran Pengantin Minangkabau – Pernikahan jadi momen sakral saat berpadunya dua jiwa dalam ikatan suci. Sebagai negara yang dikenal memiliki kekayaan budaya dan tradisi, masyarakat Indonesia masih berusaha melestarikan budaya di dalam keluarga mereka dengan menggelar pernikahan berkonsep adat. Dalam tradisi Minangkabau upacara pernikahan diisi dengan beragam simbol dan ritual yang sarat makna, salah satunya adalah penggunaan mahkota “Suntiang”. Suntiang Minang bukan hanya sekadar hiasan, melainkan juga membawa makna mendalam yang menghiasai setiap langkah perjalanan menuju rumah tangga yang bahagia.
Pengantin Minang, biasanya mengenakan suntiang sebagai aksesoris di kepala mereka. Suntiang sendiri umumnya memiliki detail yang terbilang rumit dan dilimpahi oleh susunan bunga bermaterial emas ataupun perak, maka tak heran jika bobot suntiang sendiri biasanya mencapai 3,5 hingga 7 kilogram. Untuk jenisnya, Suntiang Minang terbagi menjadi dua yaitu suntiang gadang dengan ukuran yang paling besar dan suntiang ketek yang memiliki ukuran terkecil.
Makna Suntiang sebagai Simbol Tanggung Jawab Seorang Istri
Suntiang Minang menyimbolkan seorang perempuan yang akan melewati periode peralihan dari gadis lajang menjadi wanita dewasa. Dalam tradisi Minangkabau, suntiang disiapkan dengan penuh kehati-hatian dan dianggap sebagai lambang kebanggan keluarga besar. Umumnya, mempelai Minangkabau akan menggunakan suntiang gadang, sementara suntiang ketek biasanya hanya boleh digunakan untuk pengiring pengantin saja. Bobot berat yang ada pada suntiang ini merupakan lambang besarnya tanggung jawab yang nantinya akan diemban oleh seorang istri, baik untuk menjaga keutuhan rumah tangga hingga bagaimana ia memuliakan martabat keluarga dan orang-orang disekitarnya. Memakai suntiang dalam pernikahan bukan hanya menandakan status sosial, tetapi juga bentuk penghormatan pada leluhur dan tradisi nenek moyang.
Hiasan Suntiang berelemen Flora & Fauna
Suntiang Minang merupakan simbol keagungan wanita-wanita Minangkabau yang berbentuk setengah lingkaran dan dikenakan saat akan menyambut gerbang kehidupan pernikahan. Uniknya, berbagai elemen hiasan yang tersusun di atas kerangka suntiang merupakan representasi dari kekayaan yang ada di sekitarnya, mulai dari darat, laut, hingga udara. Untuk motif tumbuhan adalah visualisasi dari bunga melati, tumbuhan serai, bunga mawar, dan cempaka, yang kemudian diterapkan ke dalam lempengan kuningan dan lain-lain.
Susunan Suntiang Wajib Berjumlah Ganjil
Penataan kerangka suntiang terdiri dari beberapa lapisan yang disusun secara bertingkat. Jumlah tingkatan suntiang yang paling rendah adalah tujuh tingkat, sedangkan yang paling tinggi bisa menyentuh sebelas tingkat. Seluruh ornamen ini kemudian akan disematkan bertahap mulai dari bagian yang paling belakang. Pertama, ada sekitar lima lapis bungo sarunai yang merupakan elemen dasar dari pembuatan suntiang. Pada tingkatan kedua, terdapat rangkaian kembang goyang, sepasang burung merak, dan ragam hiasan lainnya. Sementara di lapisan paling atas terdapat mansi-mansi yang diikuti oleh pemasangan kote-kote dan bunga hidup di sisi kiri dan kanan dari wajah mempelai wanita. Setiap hiasan yang ada wajib disusun dalam jumlah ganjil sebagai simbol kebijaksanaan dan kedewasaan seorang wanita.
Suntiang sebagai Warisan Budaya yang Harus Dilestarikan
Seiring perkembangan zaman, tradisi pernikahan adat Minangkabau termasuk penggunaan suntiang juga kerap mengalami perubahan. Namun, penting bagi generasi muda untuk tetap menghargai dan melestarikan warisan budaya ini. Suntiang bukan hanya sekadar simbol, tetapi juga penjaga nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang harus dijaga agar tetap hidup dalam perjalanan sejarah.